TANA TORAJA - Menjelang peresmian Bandara Udara Toraja di Mengkendek, tercium aroma tak sedap hari ini akan tanda penyitaan Kajati Sulsel di tanah Mapongka, sepanjang jalan masuk Bandara, Minggu (15/11/2020).
Dimana diketahui puluhan papan Plang penyitaan tanah tersebut tiba - tiba menghilang tanpa jejak yang diduga ini sebuah rekayasa atau mau menghilangkan tindak tanduk kinerja Kejati Sulsel yang memproses penyitaan tanpa alas dasar hukum yang jelas.
Melalui sambungan via pesan WhatsApp dari praktisi hukum yang juga sebagai kuasa hukum masyarakat adat di tanah Mapongka, menjelaskan bahwa ini diduga adalah permainan oleh pihak Kejati Sulsel yang tidak mau diketahui oleh Presiden RI.
Kata, Salasa Albert bahwa kalau jadi Presiden lakukan peresmian maka ini adalah peresmian Presiden yang pertama dikibuli Kajati sulsel. Soalnya kawasan sepanjang jalan ke bandara itu sedang dalam sitaan Kejati Sulsel yang dianggap adanya dugaan korupsi penyalahgunaan penerbitan SHM dalam kawasan hutan produksi Mapongka.
Jadi agar tidak ketahuan oleh presiden maka Kajati diduga perintahkan Penyidik Alfian untuk cabut puluhan plang sitaan di kawasan itu.
Praktisi Hukum yang juga selaku kuasa hukum masyarakat yang disita lahannya tersebut mengatakan bahwa pencabutan plang papan penyitaan tersebut diduga dilakukan sejak kemarin Sabtu (14/11/2020) atau hari ini Minggu (15/11/2020).
"Ini dilakukan kemungkinan supaya presiden tak baca kalau kawasan sekitar Bandara yang akan diresmikan itu tidak clear tapi masih bermasalah dalam proses sitaan yang dilakukan Kajati", beber Salasa Albert, melalui pesan WhatsAppnya.
Yang jelas ada 2 masalah atas kawasan bandara tana toraja, kata Salasa Albert yakni pertama "bahwa sebelum dijadikan hutan mapongka itu awalnya adalah wilayah adat mengkendek yang di jadikan hutan produksi seluas 868 ha tahun 1973 sesuai SK menhut no. 433/kpts-l /1973".
Kemudian yang kedua adalah Sebelum tahun 1973 salah satu kelompok adat dari keturunan Tobo yang bernama. Ny Jonana Batara Sisang yang juga Parenge (pemimpin nasyarakat ada) di kawasan mapongka telah diakui sesuai surat resmi hak kepemilikan ex tanah adat seluas 42 ha, oleh pemerintah Tana Toraja tahun 1980.
Dan itu berdasarkan dokumen pihak BPN yang telah menerbitkan SHM atas tanah milik tersebut. Persoalannya tanah SHM tersebut terkena perluasan jalan dari dan ke bandara Tana Toraja.
Ini ada dugaan korupsi korporate karena kemudiaan disita oleh kajati sehingga ganti rugi tidak bisa di laksanakan, jelasnya.
"Kalau kedua hal ini diketahui Jokowi maka kemungkinan besar bisa mempengaruhi batalnya peresmian bandara Tana Toraja. Karena kepentingan masyarakat adat di abaikan", tulis Salasa.
" Sementara Jokowi sendiri sangat peduli pada masyarakat adat sehingga ia mengeluarkan pepres no 88 tahun 2017 tentang penyelesaian penguasaan tanah di kawasan hutan", urai Salasa Albert.
Lanjut Salasa, bahwa lokasi yang dianggap kawasan oleh pihak kehutanan, itu dikuasai oleh 12 lingkungan adat sejak dari dulu dan itu bukan hutan negara tetapi hutan milik masyarakat adat karena dalam lokasi menyimpan berbagai tanda peradaban adat istiadat masyarakat,
"Kok di jadikan hutan produksi tanpa penyelesaian dengan masyarakat adat. Ini rampok namanya", tandas Salasa.
(Widian)